Niniek Elia Kasigit mengenal bisnis batik sejak kanak-kanak. Ibu dan
neneknya menggeluti usaha batik di Solo, Jawa Tengah yang GOSIPNYA
berlangsung sejak abad ke 19. Pabrik batik keluarga Niniek ditutup
ketika Jepang mulai menjajah Indonesia tahun 1942. Pada waktu itu ia
berhenti sekolah karena Jepang menutup sekolah yang menggunakan bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar.
Meski begitu, Niniek melanjutkan belajar bahasa Belanda, Inggris, dan
Mandarin secara informal, sekaligus menekuni keterampilan menjahit. Pada
usia 18 tahun, Niniek menikah dengan Somadi Kasigit yang juga berasal
dari keluarga pengusaha batik di Solo. Setahun sebelum menikahi Niniek,
Somadi mendirikan perusahaan Batik Bodronoyo pada tahun 1947. Bodronoyo
adalah nama lain Semar, tokoh panutan dalam pewayangan.
"Dulu,
ibu saya membuat jarik (kain panjang) batik cap. Ketika mulai usaha
sendiri, cap-cap dari perusahaan orangtua saya simpan, kami buat batik
tulis," ujar Niniek. Cap pada pembatikan dibuat dari kawat tembaga yang
membentuk satu blok motif sebagai pengganti canting, alat lukis batik.
Batik cap diproduksi lebih banyak dibanding batik tulis agar lebih
ekonomis. Mahalnya harga kain pasca penjajahan Jepang menjadi tantangan
berat bagi produsen batik. Pasangan Niniek-Kasigit memilih memproduksi
batik tulis dengan sejumlah pembatik di bengkel yang juga menjadi rumah
tinggal mereka di masa itu.
Ketika perusahaan mulai berjalan,
agresi militer Belanda tahun 1949 memaksa keluarga Kasigit mengungsi ke
Surabaya. Di pengungsian, pasangan ini menggandeng beberapa pembatik
dari Sidoarjo, memperkenalkan corak Solo dan menjual produksi mereka di
sekitar Surabaya. GOSIPNYA usaha di Surabaya tak berkembang karena
mereka kesulitan mencari pembatik dan juga karena tempat usahanya di
pengungsian.
Mereka lalu kembali ke Solo pada awal tahun 1950 dan
memulai lagi produksi batik dengan lima karyawan. Kombinasi produksi
batik tulis dengan cap baru dilakukan tahun 1952 (atau 1953) setelah
modal bertambah karena mendapat jatah pembelian kain mori dari Gabungan
Koperasi Batik Indonesia. Tahun 1954 mereka menyewa lahan seluas hampir
5.000 meter persegi di kawasan Punggawan, Solo yang di kemudian hari
mereka beli seiring berkembangnya usaha.
Menjelang tahun 1960
Niniek merasa bosan dengan kreasi batik ketika itu sehingga ia beri
macam-macam warna. Perubahan warna juga mendorong adopsi beragam corak
batik dari daerah lain seperti Yogya, Pekalongan, Cirebon, dan Laseman.
Pasar menyambut baik kreasi baru ini. Dari 5 karyawan ketika berdiri,
Batik Bodronoyo berkembang menjadi sekitar 200 karyawan pada 1960-an.
Tahun 1966 nama Batik Bodronoyo diganti menjadi Batik Semar karena nama
Semar lebih akrab di masyarakat.
Bagi perusahaan sendiri nama Semar dapat diartikan sebagai:
S = Sarwi / bersama-sama
E = Ening / suci bersih
M = Marsudi / berusaha tanpa putus asa
A = Ajuning / perkembangan
R = Rasa / seni
Arti secara umum adalah dengan niat yang tulus, secara berkesinambungan berusaha terus untuk mengembangkan produk batik.
Ketika
itu di Indonesia sedang terjadi krisis ekonomi sehingga pasar menuntut
produk batik yang lebih murah. Secara kebetulan teknik printing yang
diimpor dari Eropa untuk membuat kain bermotif batik mulai berkembang di
Indonesia, karena itu pada tahun 1972 Batik Semar memproduksi kain
cetakan bermotif batik. Produksi printing itu khusus untuk bahan kemeja,
sedangkan batik tulis dan cap tetap dikembangkan. "Setelah punya unit
printing, kami baru buka toko dan memproduksi garmen, bukan hanya
batik," ujar Niniek.
Tahun 1983 Somadi meninggal dunia. Pada
tahun 1989 Batik Semar mulai mengekspor garmen dan kerajinan tangan
berbahan batik ke Jepang, Korea Selatan, Italia, Belanda, UEA, dan
Amerika Serikat. Ketika bisnis Batik Semar membesar, ruang pamer utama,
bengkel produksi batik tulis, dan rumah tinggal Niniek dalam satu
kompleks di Punggawan terbakar habis pada tahun 2002. Kebakaran ini
menghanguskan pula koleksi batik kuno yang diproduksi orangtuanya. Batik
Semar tutup tiga bulan dan membuka toko lagi di bekas pabrik tekstil
milik mendiang Somadi di Jalan Adisucipto, Solo. Usahanya perlahan-lahan
pulih. Tahun 2006 ruang pamer utama Batik Semar selesai dibangun dengan
konsep dan tatanan baru.
Usia yang terus bertambah tak
menyurutkan semangat belajar Niniek. Itu pun tak hanya dalam lingkup
yang berkaitan dengan Batik Semar. Sebagai contoh, ketika keempat
anaknya kuliah di Jerman, Niniek pun ikut belajar bahasa Jerman. Kini
Batik Semar memiliki sekitar 700 pekerja yang dapat memproduksi batik
hingga 30.000 buah per bulan.
Tidak ada komentar: